Dalam publikasi World Giving Index tahun 2022 oleh Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia menjadi negara urutan pertama paling dermawan di dunia dan bertengger selama lima tahun berturut-turut dengan indeks tingkat donasi tertinggi (84%) dan kesukarelawanan (63%). Ini adalah sebuah capaian yang penting untuk diapresiasi ditengah periodisasi tren pamer harta dan asumsi individualistik sedang tinggi-tingginya. Kedermawanan tersebut disinyalir akibat manusia merasa bahwa kegiatan sosial dan kemanusiaan mampu menciptakan rasa bahagia.
Agaknya, Ramadan tahun ini juga akan tetap dan harus relevan dengan giat-giat sosial dan kemanusiaan. Selain itu, patut pula kita menjadikan Ramadan sebagai trigger untuk memacu semangat berpuasa dan berupaya untuk membangun kesadaran sosial-kultural, dimana Ramadan tidak hanya membelenggu kita pada aktivitas-aktivitas individual, tetapi juga sosial yang transendental.
Kesadaran sosial-kultural yang terejawantahkan dalam Ramadan setidaknya ada dua perkara penting, yang seperti Dharma Setyawan tulis dalam pengantar buku Puasa dan Transformasi Sosial karya A.R.M. Umar (2015) yaitu, sebagai “salat sosial” dan “zakat pembebasan”, yang keduanya menjadi sebab bahwa Islam tidak berhenti pada pendekatan semantik-hermeneutik, tetapi lebih jauh dari itu; Islam yang transformatif, bagaimana seperti kata Moeslim Abdurrahman dalam Islam sebagai Kritik Sosial (2003), mempertautkan hubungan antara iman dan realitas sosial.
Salat sosial, adalah kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berpikir, sujud saling menyadari penindasan dilingkup sosial kita yang harus diselesaikan secara komprehensif. Kesadaran tersebut bukan hanya terletak pada lapangan politik, atau kerja-kerja keduniaan yang hanya memberi kenikmatan sesaat. Adapun zakat pembebasan adalah sikap untuk mengeluarkan harta kita untuk membangun pemberdayaan umat, mencerdaskan kesadaran umat dengan melepaskan cangkang egonya masing-masing. Sehingga dari keduanya, menurut Moeslim Abdurrahman dalam Islam yang Memihak (2005), ibadah puasa dapat dialihkan sebagai energi penggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexive, sehingga ideologi ke-fithri-an yang tertanam di benak setiap manusia dapat muncul dan disajikan sebagai usaha kolektif.
Kendati demikian, selain daripada hal diatas, ada dua indikator penting yang mesti dipegang agar mampu membangkitkan kesadaran tersebut, sebagai kelanjutan Islam yang transformatif. Pertama, pengetahuan yang membutuhkan kesabaran kultural dan tidak instan. Seperti mendaras buku-buku, menulis dan berdiskusi, menjadi kerja-kerja yang tidak terpisahkan dan bersifat penting agar pengetahuan memiliki resonansi yang cukup besar dan diradiasikan. Kedua, pengorganisasian yang berujung pada kesetiaan kita untuk membela mereka yang terpinggirkan, tertindas dan atau yang dalam teologi Qur’an disebut sebagai ‘mustadh’afin’ atau ‘dhu’afa‘. Yang dalam hal ini, secara kasat menyambung kepada konsep ilmu sosial profetik yang sempat digagas Kuntowijoyo. Bahwa, menurut Kuntowijoyo, pilar penyangga semangat profetik ada tiga; humanisasi, liberasi dan transendensi. Dan hal demikian tidak bisa didapatkan dalam satu lapangan sosial. Level apapun, dan, ini mestinya linear kepada yang mendaku sebagai aktivis-aktivis muslim. Hal tersebut bisa dicapai dengan kesadaran kolektif yang terbangun.
Kita ulik beberapa tahun terdahulu, para pemikir-pejuang dan cendikiawan muslim sedikit banyaknya telah menggagas gagasan Islam yang transformatif sebagai alternatif ide-ide sosial. Kita bisa membaca bagaimana Ahmad Dahlan mencuatkan tentang ‘Teologi al-Ma’un’ yang meski secara konsep tidak terlalu banyak dituangkan diatas kertas olehnya, namun implementasinya konkret. Beliau mengamalkan gagasan tersebut kedalam konteks pengentasan kemiskinan sebagai wajah praktik surah al-Ma’un itu. Ambil contoh, ia mendirikan langgar — bahasa Jawa yang jika dikonversikan era kekinian semacam tempat mengaji–, panti asuhan, sekolah, bahkan mahakarya terbesar dan berlanjut hingga kini adalah ia mendirikan Muhammadiyah sebagai pengamalan jangka panjang.
Juga, di waktu yang tidak berjauhan, ada Oemar Said Tjokroaminoto yang mentransformasikan ajaran Islam kedalam gerakan-gerakan sosial kepada petani dan buruh. Yang dirangkum dalam kumpulan karyanya ‘Islam dan Sosialisme‘. Tentu hal tersebut menarik perhatian dan simpati lebih di kalangan masyarakat, sebab terkesan membumi, karena dirasakan langsung oleh masyarakat, utamaya kalangan alit dan kelas pekerja. Dan beliau mampu menularkan progresivitasnya itu pada kebesaran Sarekat Islam.
Atau, konsep ‘Tauhid Sosial’ yang digagas oleh intelektual cum poltikus yang menamatkan gelar doktor ilmu politiknya di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat; Amien Rais. Menurutnya, Tauhid memiliki konsekuensi logis terhadap kesalehan sosial, tidak terbatas pada kesalehan spiritual saja. Bertauhid harus sejalan dengan menegakkan keadilan dalam seluruh aspek dan sendi kehidupan, sebab bertauhid mesti mencerminkan kebertuhanan. Nilainya harus transformatif dan diwujudkan dalam bentukan etika sosial-politik oleh umat muslim serta memihak kepada kaum lemah yang menjadi korban ketidakadilan.
Selain itu, Moeslim Abdurrahman juga pernah menegaskan bahwa ada kalanya Islam bersifat oposisif terhadap kekuasaan yang menindas. Islam mesti dijadikan alat sebagai upaya melakukan kritik sosial bagi kaum termarjinalkan, juga kaum mustadh’afin. Yang dicetuskan olehnya term ‘Islam sebagai Kritik Sosial’, dimana Islam menjadi dasar iman dan ritual personal dapat memancarkan ideologi-kritik, agar tafsiran agama dapat memihak persoalan keadilan, soal bagaimana nasib orang-orang dalam sub-ordinasi sosial, dapat dibela atas nama agama — baik melalui rasionalisasi, advokasi (dakwah pembelaan), dan kelembagaan (majelis taklim pemberdayaan).
Gagasan dan konsep tersebut pada dasarnya muncul pada latar belakang yang berbeda, baik waktu maupun preferensi pemikirannya. Tapi, membentuk lingkaran yang sama; Islam yang transformatif tadi, yang tidak berhenti pada tataran teoritis, namun terkonversi kedalam tataran praksis.
Keberhasilan transformasi Islam yang mampu memecahkan masalah dan ketegangan sosial pada hakikatnya mesti dimulai pada individu yang antara iman dan amal salehnya saling terintegrasi. Dalam hal ini masuk pada tataran konsep hablum-minallah dan hablum-minannas. Ada semangat transendensi untuk melakukan perubahan. Sebab ini berkesinambungan dengan tujuan puasa yang difirmankan Allah swt, yaitu menjadi la’allakum tat-taquun; orang-orang yang bertaqwa (red — al-Baqarah: 183).
Jika kita jujur, kita tidak akan menafikan bahwa Islam menyuruh kita pertama kali untuk membaca, iqra. Yang kemudian menelurkan semangat profetik untuk melakukan emansipasi, mengeluarkan manusia dari jerat jahiliyah. Betapapun, Nabi Muhammad saw. diperintah oleh Allah agar tidak mengalienasikan ibadah dengan kehidupan sosial dan mengesankan tidak dilakukan secara dikotomis atau cenderung ‘sekuler’ antara akhirat dan dunia.
Kembali lagi, dua instrumen penting dalam mentransformasikan Islam kedalam kerja-kerja sosial adalah pengetahuan dan pengorganisasian. Sebabnya, puasa tidak hanya dimaknai sekadar ajang menahan nafsu lapar dan dahaga, tetapi mencakup ibadah-ibadah lainnya yang secara tidak sadar kita terperangkap pada budaya kolot dan tidak bersahabat dengan kehidupan sosial. Semisal salat tarawih yang kebanyakan fenomena dikalangan kita adalah, ramai diawal dan sepi diakhir, terlebih sesaat menjelang Idulfitri. Disinyalir hal tersebut diakibatkan oleh budaya konsumtif yang buruk, seolah-olah momen Lebaran menjadi ajang untuk menambah daya konsumsi dan berdampak pada membludaknya pusat-pusat perbelanjaan.
Juga tadarus al-Qur’an yang mestinya mengajarkan kita untuk mempraktikannya, tidak hanya sekadar seremonial membaca pada tataran teks. Tapi juga memperhatikan pada tataran yang lebih tinggi; membaca realitas sosio-kultural dengan perspektif struktural. Sebab ia juga bagian dari ciptaan Allah swt.
Kemudian zakat, yang merupakan ibadah mahdhah. Dimensi zakat pada konteks sosial sangat luas, selain daripada ‘membersihkan’ harta kita, zakat juga menjadi solusi atas kemiskinan yang mendera fakir miskin dan kaum marjinal.
Karena itu, dalam praktik yang lebih rasional, Tri Haryono menyebut dalam Puasa sebagai Tirakat Sosial (2016), ayat-ayat puasa harus dimaknai sebagai living faith yang aktual, yang mencari makna ibadah itu dalam penghadapannya terhadap realitas. Yaitu, bagaimana puasa, menurut Afrizal Qosim dalam Puasa Mudik dan Spirit Baru Solidaritas (2020), dapat mengelola kesadaran fithri yang humanis memihak keadilan dan realitas keterpurukan yang menggejala di lingkungan sekitar kita.
Ramadan mesti menjadi sarana dan fase yang relevan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas dirinya sendiri, hamba terhadap Tuhannya; yang tidak diberikan bahkan terkesan gagal oleh sistem kapitalisme yang menggigit selama beberapa dekade terakhir.
Terakhir, kita raih dan jemputlah juga lailatul qadar dengan praktik-praktik sosial secara kolektif di setengah Ramadan ini. Galang kekuatan untuk melawan budaya konsumerisme. Mari sama-sama kita menemukan relevansi hablum-minallah dan hablum-minannas pada bulan Ramadan ini dengan kesadaran fithri yang humanis.